“Salah satu tindakan paling berani yang dapat kau lakukan adalah dengan mengidentifikasikan diri sendiri, mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, keyakinanmu, dan kemana arah yang ingin kau tuju.”
-Sheila Murray Bethel
Saat saya di kelas sembilan, sama seperti anak-anak yang lain, saya bingung untuk memilih, ingin melanjutkan sekolah dimana. Orang bilang, masa-masa SMA adalah masa-masa terindah, jadi saya pikir saya harus menghabiskannya bersama dengan teman-teman terbaik dalam hidup saya. Di masa SMP, di sekolah saya yang lama, saya punya banyak teman, saya bisa bermain, namun nilai sekolah saya juga baik. Karena itu, semua orang berpikir saya akan dengan mudah memilih sekolah, yaitu sekolah yang sama dengan kakak saya, SMA Santa Ursula.
Sebenarnya saya memang punya pilihan lain, tapi saat itu saya tidak banyak berpikir. Hal yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa memudahkan orangtua saya dalam hal antar jemput sekolah. Letak rumah kami yang jauh, tentu saja menjadi kendala jika letak sekolah saya dan kakak saya tidak sejalan. Akhirnya saya memilih untuk pergi ke sekolah yang sama, karena, selain track record SMA Santa Ursula yang sangat baik, Santa Ursula juga terkenal sebagai sekolah yang menjunjung nilai kejujuran dan kedisiplinnya yang sangat tinggi sehingga sering disebut “penjara hijau”. Karena itu saya tertantang untuk ikut menjadi bagian di dalamnya.
Pada suatu hari di bulan November 2012, bersama ratusan anak lainnya, saya mengikuti tes masuk di SMA Santa Ursula Jakarta. Semua tampak asing bagi saya, tidak ada satupun muka yang familiar. Namun saya tau, itu adalah salah satu konsekuensi mendaftar ke sekolah baru, apalagi bisa dibilang saya pindah kota, dari Cibubur ke Jakarta. Selama 3 hari tes di Santa Ursula, saya mulai berkenalan dengan beberapa teman baru. Walaupun masih terasa aneh, namun saya bisa menerimanya. Satu persatu tes saya jalani, dan tak terasa hari pengumuman penerimaan siswa baru pun tiba. Saya diterima. Ya, saya diterima.
Sekejap pikiran saya melayang, apa yang nanti akan terjadi? Sekolah baru, teman baru, lingkungan baru, kebiasaan baru, kewajiban baru. Apa lagi ditambah saya harus masuk setiap hari Sabtu. Tapi saya hanya menoleh ke arah kakak saya, dan berkata “Jika dia bisa bertahan, mengapa saya tidak?”
Setelah kelulusan SMP, saya harus berpisah dengan teman-teman dari zona nyaman saya, dan membelokan diri menuju tempat yang baru. Saat itu, saya hanya menanti-nantikan hari pertama saya di sekolah yang baru. Saya berharap, saya akan mendapatkan suasana baru yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Saya juga berharap saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik, baik sikap maupun intelektual.
Dan hari itupun tiba, hari pertama di tahun ajaran baru. Saya mencari-cari nama saya di papan pengumuman, dan ternyata saya masuk di kelas pertama di kelas sepuluh. Saya mencari dimana letak kelas saya itu dan saya pun masuk. Seketika saya merasa hampa. Semua mata menatap saya seakan saya orang paling asing diantara mereka.
Saya pun berubah, dari sosok siswa yang biasanya selalu ceria dan banyak bicara, menjadi seorang yang tenang dan pendiam. Saya selalu berharap, jam pelajaran pertama segera dimulai, agar ada kegiatan atau pekerjaan yang bisa saya lakukan. Saya tidak pernah datang lebih pagi dari 6.45, karena saya tidak ingin sendirian. Memang saya berkenalan dengan beberapa teman, tapi sebagian besar dari mereka tetap saja menganggap saya orang asing, mereka tetap berkelompok dengan teman-teman yang telah mereka kenal sebelumnya.
Hari-hari pun berlalu, saya mulai mengenal lebih banyak teman, tetapi walaupun begitu saya tetap merasa kehilangan sesuatu. Saat mengikuti pelajaran, terkadang saya merasa saya bisa menjawab pertanyaan guru tersebut, tapi….. saya merasa mereka, teman-teman saya yang lain, jauh lebih hebat dari saya. Siapakah saya? Saya berasal dari sebuah sekolah yang jika namanya saya sebut saja, belum tentu orang lain tau (saya juga tidak tau mengapa begitu). Saya menyimpan semua ide-ide saya, semua pendapat saya di dalam hati.
Saya merasa perlu usaha yang sangat keras untuk mendapatkan nilai yang baik, dan terkadang saya merasa saya lelah untuk memperjuangkannya. Saya merasa saya ingin istirahat sejenak, saya ingin bermain, saya ingin………….. sekolah saya yang dulu.
Saya merindukan suasana di sekolah saya dulu, bagaimana saya bisa terlibat aktif di kelas. Di sekolah saya yang lama, kami adalah sebuah keluarga, walaupun ada persaingan, tapi tetap ada rasa kekeluargaan yang mengikat kami. Saya juga merindukan hidup saya yang dulu. Sekarang sepertinya setengah dari setengah hari saya saya habiskan di perjalanan bolak balik ke sekolah. Saya merasa saya salah arah. Seharusnya saya tetap bersama dengan teman-teman saya yang dulu, pergi ke sekolah yang sama, susah bersama dan senang bersama. Paling tidak, ada hal yang bisa saya nikmati. Saya kecewa dengan pilihan saya ini, dan saya merasa ingin mundur.
Saat perasaan itu muncul, di saat itulah saya ingat akan rencana Tuhan yang selalu indah. Pasti ada makna dari setiap pilihan yang kita ambil, pasti ada jawaban dan alasan yang terbaik. Untuk itu, saya membawa pergumulan saya ini di dalam doa dan berharap Tuhan akan turun langsung memberikan jawaban secara spontan. Dan Tuhan memang tidak pernah diam! Seiring berjalannya waktu, saya akhirnya punya banyak teman dan bahkan sahabat. Saya mulai merasa nyaman dengan keberadaan saya disini dan juga ikut terlibat aktif dalam kegiatan sekolah.
Saya terbiasa dan suka menyelesaikan masalah saya sendiri dengan mengambil hikmah dari kejadian-kejadian dalam hidup saya. Dan saat itu saya melihat ke belakang, apa yang telah saya dapatkan selama beberapa bulan saya di SMA Santa Ursula. Satu hal yang pasti, saya merasa saya adalah pemberani. Saya telah berani keluar dari zona nyaman saya, saya bangun 1 jam lebih pagi dari biasanya, saya belajar tiga kali lebih keras dari biasanya. Saya merasa saya lebih tangguh, dan pastinya lebih berani.
Saya bersyukur kepada Tuhan, karena kalau saja saat itu saya memilih untuk tidak masuk SMA Santa Ursula, saya tidak akan menjadi sosok yang seperti ini. Saya tidak akan berani melakukan hal-hal yang menantang, saya tidak akan menjadi sosok yang lebih tenang dalam menghadapi suatu masalah. Terkadang saya bertanya-tanya dengan diri saya sendiri, mengapa saya mau masuk ke sebuah sekolah yang memang dikenal sebagai “penjara hijau”? Namun saya tahu, Tuhan telah menyiapkan semuanya secara rinci bagi saya. Di sekolah inilah saya merajut hari-hari saya untuk meraih masa depan saya.
Berbekal hal itu, saya memberanikan diri untuk mengikuti kaderisasi OSIS. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi, tidak tahu kejutan apa yang akan Tuhan berikan pada saya, namun saya tahu semua pasti ada gunanya. Memang kaderisasi selama 1 minggu itu sangat berat. Kami dimarahi, dibentak-bentak, kami diberi tugas-tugas yang berat yang harus selesai dalam waktu semalam, sehingga praktis kami tidak tidur, dan kami dikerjain dengan hal-hal aneh. Dan rangkaian kaderisasi itu ditutup dengan sebuah Latihan Dasar Kepemimpinan dengan menginap di sekolah.
Semuanya saya jalani dengan tekun. Tak sedikitpun timbul rasa penyesalan, karena saya tahu semua itu pasti tidak sia-sia, pasti akan berguna bagi saya. Saat itu, saya mengenal lebih banyak teman, baik teman seangkatan maupun kakak kelas. Meskipun setelah rangkaian acara itu saya terjangkit penyakit demam berdarah, saya merasa pengalaman dari kegiatan ini sangatlah berharga. Diterima atau tidak diterima menjadi anggota pengurus OSIS adalah urusan belakangan, yang terpenting saya telah mencoba.
2 bulan kemudian, saat diumumkan hasilnya, saya terpilih dijabatan yang lebih tinggi dari yang saya harapkan. Saya sangat bersyukur bisa ikut terlibat dalam salah satu organisasi besar di SMA Santa Ursula. Saya merasa saya berhasil masuk dalam lingkungan baru saya ini.
Mungkin masa-masa ini memang bukan masa-masa paling indah yang saya alami dalam hidup saya, tetapi paling tidak saya percaya bahwa suatu hari nanti saya akan merasakan pelajaran terindah dari hari-hari berat saya di Santa Ursula, yang tidak akan saya dapatkan jika saya tidak masuk ke SMA Santa Ursula. Pelajaran-pelajaran itu mengubah saya menjadi seseorang yang lebih berkarakter, berintegritas, lebih mandiri dan lebih taat dalam menjalani persaingan hidup.
Layaknya seekor ulat menjadi kupu-kupu, saya pun telah mengalami metamorfosa dalam hidup saya. Saya tidak menyesal dengan pilihan saya. Kini saya menjadi seseorang yang lebih tangguh, mandiri dan dewasa. Untuk menjadi seekor kupu-kupu cantik, seekor ulat harus berjuang untuk mengeluarkan dirinya dari sebuah lubang kecil. Perjuangan kupu-kupu untuk keluar dari kepompong diperlukan untuk memaksa cairan dalam tubuh kupu-kupu menyebar ke sayapnya, hingga sayapnya kuat dan siap dipakai untuk terbang. Demikian juga dengan saya. Saya terus berjuang, belajar, bersaing dan bekerja keras membagi waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Saya tahu, suatu hari nanti, saya akan memetik dan menikmati hasilnya. Saya akan terbang nantinya, bagaikan kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu. Tanpa hambatan, kita akan lemah bahkan lumpuh, tidak akan pernah bisa terbang. Segala tantangan dan hambatan membuat kita kuat dan tangguh, siap mengarungi kehidupan yang keras.